Alamat & Contact

Komp. Griya Alam Sentosa Blok V5/01, Cileungsi, Bogor HP: 081217214788 atau 081311547534 View Larger Map

Pembeli yang datang ke rumah

Selain pengiriman menggunakan jasa JNE kami juga Welcome bagi yang ingin berkunjung ke rumah di Cileungsi Kab. Bogor.

Saat di Pagaralam

Pwerkebunan kopi berada di atas bukit dan terhampar luas.

Kunjungan ulama Malaysia

Serombongan ulama dari negeri jiran berkunjung untuk mengetahui proses kopi luwak, tujuannya adalah untuk kajian kehalalan kopi luwak.

Kopi Luwak Sachet

Kami sediakan juga dalam bentuk kopi luwak murni dalam sachet dengan berat 10 gr, cukup untuk minum satu cangkir.

Hukum Kopi Luwak Halal atau Haram?


Dicopy dari Blog.Buku-Islam.Com 
Kopi luwak kini tengah gencar dipromosikan. Mungkin, pembaca termasuk penggemarnya yang suka menikmati kelezatannya. Apakah kopi luwak itu? Bagaimana hukum mengonsumsinya? Tulisan ini akan mengkajinya dari kacamata hukum fikih.
Kopi luwak adalah kopi yang telah dipilih dan dimakan oleh binatang luwak. Luwak memilih buah kopi yang mempunyai tingkat kematangan yang sempurna berdasarkan rasa dan aroma, mengupasnya dengan mulut, lalu menelan lendir yang manis serta bijinya.
Biji kopi yang masih terbungkus kulit pembalut yang keras/kulit tanduk (semacam tempurung dalam kelapa) tidak hancur dalam pencernaan luwak. Sistem pencernaan luwak yang kondusif membuat biji kopi yang keluar bersama feses/kotoran luwak masih utuh terbungkus kulit. Pada saat biji kopi berada dalam pencernaan luwak, terjadi proses fermentasi secara alami selama kurang lebih 10 jam.
Prof Massiomo Marcone seorang guru besar dari Kanada menyebutkan bahwa fermentasi pada percernaan luwak ini menjadikan kopi berkualitas tinggi. Selain berada pada suhu fermentasi optimal 24-26 derajat C, juga dibantu oleh enzim dan bakteri yang berada di pencernaan luwak tersebut.
Apakah biji kopi yang keluar dari perut luwak bersama kotorannya itu hukumnya halal dikonsumsi? Bukankah ia telah tercampur dengan najis, yaitu feses luwak? Untuk mengkaji masalah ini, fuqaha’ telah mengkajinya ratusan tahun yang silam. Dalam menghukumi apakah kopi luwak itu halal atau haram, kajian fikih mengawalinya dari paradigma atau sebuah pertanyaan, apakah kopi yang berada di dalam pencernaan luwak yang kemudian keluar bersama fesesnya itu najis atau mutanajjis?
Apabila biji kopi yang keluar bersama kotoran luwak itu dihukumi najis, kopi luwak itu jelas tidak halal/haram dikonsumsi. Namun, apabila status biji kopi yang keluar dari perut luwak itu dihukumi mutanajjis (hanya bersentuhan najis), biji kopi itu dapat disucikan dengan air mutlak dan halal untuk dikonsumsi. Tentu, setelah melalui proses dibersihkan kulitnya, digongso/digoreng, dan dilembutkan menjadi bubuk kopi.
Nah, bagaimana pandangan fikih terhadap masalah ini? Dalam buku-buku fikih, disebutkan bahwa biji-bijian yang keluar bersama kotoran atau muntah hewan itu dihukumi mutanajjis, dengan catatan biji-bijian itu keras, masih utuh, tidak berubah, yang indikasinya apabila biji-bijian itu ditanam, bisa tumbuh. Biji-bijian tersebut bisa menjadi suci karena dicuci dan halal dimakan. Namun, apabila biji-bijian itu telah berubah, dihukumi najis.
Dalam kitab Fath al-Mu’in dengan syarah I’anah ath-Thalinin juz I, disebutkan bahwa apabila ada hewan memuntahkan biji-bijian atau keluar dari perutnya bersama fesesnya, lalu biji-bijian itu keras, masih utuh sehingga kalau ditanam bisa tumbuh; biji-bijian itu pun statusnya mutanajjis, tidak najis. Biji-bijian itu menjadi suci dengan cara dicuci dan halal dimakan.
Hal yang sama disebutkan dalam kitab Majmu’ Syarah Muhazzab juz II karya Imam Nawawi pada bab najis. Dengan demikian, apabila kopi luwak yang keluar dari perut luwak bersama kotorannya tersebut masih dalam kondisi utuh dan dipastikan tidak ada kotoran luwak yang merembes ke biji kopi tersebut; kopi luwak itu hanya mutanajjis (terkena /bersentuhan najis) sehingga bisa menjadi suci dengan cara dicuci dengan air mutlak. Hal ini akan membuat hilang ketiga macam sifatnya (warna, rasa, dan bau najis/feses luwak).
Dalam hal ini, penulis pernah bertanya kepada Koordinator Tenaga Ahli LPPOM MUI, Dr Khaswar Syamsu, salah seorang dosen IPB. Beliau mengatakan bahwa kopi yang keluar bersama kotoran luwak itu ketika ditanam memang dapat tumbuh. Hal yang sama dinyatakan oleh salah seorang petani kopi luwak.
Apabila kita telah yakin terhadap hal ini, kita dapat menjadikan jawaban itu sebagai pedoman untuk isbat al-Hukm asy-Syar’i (menetapkan hukum Islam) atau berfatwa. Kita tidak perlu lagi mengundang ahlinya. Namun, apabila kita belum yakin dengan hal tersebut, kita perlu mengundang ahlinya untuk meyakinkan. Hal ini dilakukan agar fatwa yang dikeluarkan benar-benar berdasarkan ilmu dan kebenaran.
Apabila biji kopi itu benar-benar masih utuh dan tidak berubah, statusnya sebagai barang suci yang terkena najis/mutanajjis, bukan najis. Ia akan menjadi suci dan halal setelah dicuci dengan air mutlak dengan menghilangkan tiga sifatnya (rasa, bau, dan warna). Hal ini sejalan dengan kaidah hukum Islam, Wal-Aslu Baqau Ma Kana ‘ala Ma Kana. Yang artinya, “Pada dasarnya, segala sesuatu itu dihukumi sesuai dengan hukum asalnya (yang telah ada padanya).”
Sebelum terkena najis, kopi itu jelas suci dan halal. Dengan demikian, setelah terkena najis, ia dapat disucikan dan hukumnya tetap halal. Kita juga dapat berargumentasi dengan qiyas/analogi, yaitu di-qiyas-kan dengan cincin yang tertelan, kemudian keluar bersama feses manusia. Cincin itu statusnya mutanajjis, dapat suci kembali setelah dicuci.
Di belahan wilayah Indonesia yang hutannya ada durian atau ada pohon durian yang dekat hutan, sering terjadi ada buah durian ditelan seekor gajah dalam keadaan utuh dan keluar bersama fesesnya dalam kondisi masih utuh. Konon, durian itu banyak yang mencari dan memperebutkannya. Mengapa? Katanya, rasanya amat lezat. Kasus durian ini menurut hemat penulis dapat di-qiyas-kan dengan kopi luwak. Wallahu a’lam

Oleh: Dr KH Ahmad Munif Suratmaputra MA (Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat)

Melacak Status Hukum Kopi Luwak

Dicopy dari  http://salafiyunpad.wordpress.com.


Oleh Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi

Beberapa waktu yang lalu, media massa ramai membicarakan hukum “kopi luwak”, apakah halal ataukah haram. Pasalnya, kopi antik asal Indonesia yang terkenal sangat ma­hal tersebut*) ternyata dalam proses pembuatannya menggunakan bantuan luwak (sejenis musanglParadoxurus hermaphrodites). Di antara proses produksinya ; sekumpulan luwak dipersilakan makan buah kopi matang lalu kopi yang keluar bersama kotoran luwak tersebut dibersihkan dan diproses hingga menjadi bubuk kopi siap saji.
Nah, apakah karena prosesnya yang seperti itu menjadikan kopi jenis ini najis dan haram?!! MUI telah mempelajari dan menyelidiki masalah ini lalu menyimpulkannya ha­lal.**) Hanya, masih ada sebagian orang mempertanyakan tentang kebenaran fatwa MUI tersebut. Oleh karena itu, kami memandang perlu untuk menulis pembahasan ini sebagai keterangan bagi kaum muslimin semuanya. Semoga bermanfaat.
HUKUM KOPI
Ketahuilah wahai saudaraku seiman — semo­ga Allah Ta’ala merahmatimu—bahwa asal hukum segala jenis makanan baik dari hewan, tumbu­han, laut maupun daratan adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya[1].
Allah Ta’ala berfirman :
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi. (QS. al-Baqoroh [2]: 168)
Tidak boleh bagi seorang pun mengharam­kan suatu makanan kecuali berlandaskan dalil dari al-Qur’an dan hadits yang shohih dan apa­bila seorang mengharamkan tanpa dalil, maka dia telah membuat kedustaan tentang Allah.
Memang pada awal munculnya, kopi banyak diperdebatkan oleh ulama, bahkan banyak tu­lisan tentangnya. Ada yang mengharamkannya karena dianggap memabukkan dan ada yang menghalalkan karena asal minuman adalah ha­lal[2]. Namun, dengan berjalannya waktu, pen­dapat yang mengharamkan itu hilang dan para ulama-pun bersepakat tentang halalnya kopi[3]. Sampai-sampai al-Halawi mengatakan setelah menyebutkan perselisihan ulama tentang hukum kopi : “Orang yang mengharamkan kopi tidaklah memiliki alasan yang ilmiah sama sekali.”[4]
HARAMKAH LUWAK?
Luwak adalah binatang sejenis musang. la adalah binatang pengecut dan sangat licik. De­ngan kelicikannya dia bisa bersama para bi­natang buas menyeramkan lainnya. Di, antara kelicikannya dalam mencari makanan dia bisa berpura-pura mati dan melembungkan perut­nya serta mengangkat keempat kakinya agar di­sangka mati. Kalau ada hewan yang mendekat­inya, seketika itu dia langsung menerkamnya.[5]
Tentang hukum memakannya, para ulama ber­selisih pendapat :
Pendapat pertama : Boleh, Ini adalah madzhab Syafi’i dan salah satu riwayat dari Imam Ah­mad. Alasannya, karena ia bukan termasuk binatang buas yang menyerang dengan taring­nya.
Pendapat kedua : Haram, Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan pendapat yang populer dalam madzhab Ahmad. Alasannya karena musang termasuk binatang buas yang diharamkan dalam hadits.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Setiap binatang buas yang bertaring maka memakannya adalah haram.”[6]
Pendapat yang kuat bahwa musang hukum­nya haram, karena musang termasuk binatang buas yang dilarang dalam hadits. Wallahu A’lam.[7]


NAJISKAH KOTORAN LUWAK ?
Masalah ini merupakan cabang dari permasa­lahan sebelumnya, karena para ulama menjelaskan bahwa kotoran binatang menjadi dua :
1.      Kotoran binatang yang dagingnya haram hukumnya najis dengan kesepakatan ulama.[8]
2.      Kotoran binatang yang dagingnya halal dimakan. Hukumnya diperselisihkan ulama. Sebagian ulama berpendapat najis, sedangkan sebagian ulama lainnya berpendapat tidak najis dan inilah pendapat yang kami pilih karena kuatnya dalil-dalil mereka serta sesuai dengan kaidah asal. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata : “Adapun kencing dan kotoran binatang yang dagingnya dimakan, maka mayoritas salaf berpendapat bahwa hal itu tidaklah najis. Ini merupakan madzhab Malik, Ahmad dan selainnya. Dan bahkan dikatakan : tidak ada seorang pun sahabat yang berpendapat najis. Kami telah memaparkan masalah ini secara panjang lebar dalam kitab khusus dengan memaparkan belasan dalil bahwa hal itu (kencing dan kotoran hewan yang dagingnya dimakan) tidak termasuk najis.”[9]


HUKUM KOPI LUWAK
Setelah melalui beberapa pembahasan diatas, sekarang kita akan membahas pokok permasalahan kita yaitu tentang status hukum kopi luwak.
1. Gambaran Masalah
Sebelum melangkah lebih lanjut, kita perlu mengetahui gambaran permasalahan yang  sedang kita bicarakan ini, sebab sebagaimana kata para ulama kita :
Mengukumi sesuatu itu adalah cabang dari gambarannya.”[10]
Kopi luwak yaitu buah kopi matang yang dimakan oleh luwak, kemudian dikeluarkan sebagai kotoran luwak tetapi biji-biji kopi tersebut tidak tercerna sehingga bentuknya masih dalam bentuk biji kopi. Jadi, di dalam perut musang biji kopi mengalami proses fermentasi dan dikeluarkan lagi dalam bentuk biji bersama dengan kotoran luwak. Selanjutnya, biji kopi luwak dibersihkan dan diproses seperti kopi biasa.
2. Kaidah-Kaidah Fiqih Seputar Masalah
Ada beberapa kaidah fiqih yang dapat kita terapkan dalam masalah ini :
a. Asal makanan adalah halal
Kaidah ini sudah kita sebutkan di atas, bahwa :
“Asal hukum segala jenis makanan adalah halal (sampai ada dalil yang mengharamkannya).”[11]
Imam Syafi’i rahimahullah berkata : “Asal hukum makan­an dan minuman adalah halal kecuali apa yang diharamkan oleh Allah dalam al-Qur’an-Nya atau melalui lisan Rosulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena apa yang diharamkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sama hal­nya dengan pengharaman Allah.”[12]
Demikianlah, dalam masalah ini hukum asal­nya adalah boleh dan halal sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Kita tetap dalam keyakinan ini sampai datang bukti dan dalil kuat yang dapat memalingkan kita dari kaidah asal ini, adapun sekadar keraguan maka tidak bisa.
b. Hukum itu berputar bersama sebabnya
Termasuk kaidah fiqih yang berkaitan dengan masalah ini adalah :
“Hukum itu berputar bersama sebabnya, ada dan tidaknya.”[13]
Dalam masalah kopi luwak, alasan bagi yang melarangnya adalah adanya najis. Namun, tat­kala najis tersebut sudah hilang dan dibersih­kan maka hukumnya pun menjadi suci.
c. Istihalah [14]
Termasuk kaidah yang sangat berkaitan erat dengan masalah ini adalah kaidah istihalah clan membersihkan benda yang terkena najis :
“Benda najis apabila dibersihkan dengan pembersih apa pun maka menjadi suci.”[15]
Nah, tatkala biji kopi luwak yang bercampur kotoran tersebut memang sudah dibersihkan, lantas kenapa masih dipermasalahkan lagi?!
3. Masalah-Masalah Serupa Dalam Fiqih
Sebenarnya masalah kopi luwak ini dapat kita kaji melalui pendekatan masalah-masalah yang mirip dengannya yang biasa dikenal dengan is­tilah Asybah wa Nazho’ir. Ada beberapa masalah yang dapat kita jadikan sebagai pendekatan de­ngan masalah ini, yaitu :
a. Bila hewan mengeluarkan biji
Pendekatan yang paling mirip adalah apa yang dikatakan oleh para ulama fiqih yang mene­rangkan jika ada hewan memakan biji tumbuh­an kemudian dapat dikeluarkan dari perut, jika kondisinya tetap—sehingga sekiranya dita­nam dapat tumbuh[16]—maka tetap suci. Imam Nawawi rahimahullah berkata :
“Para sahabat kami (ulama madzhab Syafi’i)— semoga Allah merahmati mereka— mengatakan : ‘jika ada hewan memakan biji tumbuhan kemu­dian dapat dikeluarkan dari perut, jika kekerasan­nya tetap, dalam kondisi semula, yang sekiranya jika ditanam dapat tumbuh maka tetap suci tetapi harus disucikan bagian luarnya karena terkena najis…’ “[17]
b. Telur yang masih dalam bangkai
Masalah lain yang mirip dengan permasalahan ini adalah masalah telur yang berada di bangkai ayam, apakah najis ataukah tidak, pendapat yang kuat bahwa apabila telur sudah berkulit dan terpisah maka hukumnya suci. Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata :
“Apabila ada ayam mati (bangkai) dan di perut­nya ada telur yang sudah mengeras kulitnya maka (telur tersebut) hukumnya suci. Inilah pendapat Abu Hanifah dan sebagian Syafi’iyyah dan Ibnu Mundzir. Alasan kami karena telur yang sudah berkulit keras tadi terkena najis, mirip kalau sean­dainya ia jatuh pada air yang najis (lalu dibersih­kan maka jadi bersih).”[18]
c. Emas yang ditelan orang
Masalah yang mirip juga dengan masalah ini adalah kalau seandainya ada seorang menelan emas atau uang logam kemudian keluar bersama kotoran. Bukankah emas atau uang logam tadi sudah dibersihkan maka ia suci wahai saudaraku ?!! Pikirkanlah !!
KESIMPULAN
Terlepas dari perselisihan ulama tentang musang apakah haram ataukah tidak, dan terlepas dari perselisihan ulama apakah kotoran hewan itu najis ataukah tidak, kami berpendapat bahwa biji kopi luwak yang bercampur dengan kotoran kalau memang sudah dibersihkan maka hukumnya adalah suci dan halal. Barang siapa yang mengharamkan maka dia dituntut untuk mendatangkan dalil yang akurat. Wallahu A’lam

Daftar Referensi
1.      Al-Mughni. Ibnu Qudamah rahimahullah. Tahqiq Abdullah at-Turki dan Abdul Fattah al-Hulw. Dar Alamil Kutub. KSA. Cet kelima 1419 H.
2.      Al-Majmu’ Syarh Muhadzab. An-Nawawi rahimahullah. Tahqi Muhammad Najib al-Muthi’i. Dar Alamil Kutub. KSA. Cet kedua 1427 H.
3.      Al-Ath’imah. Syaikh Salih bin Fauzan Al-Fauzan hafizahullah. Maktabah Ma’arif. KSA. Cet kedua 1419 H.
4.      As-Sa’yul Hamid fi Masyru’iyyatil Mas’a al-jadid. Masyhur bin Hasan Alu Salman hafizahullah. Dar al-Atsariyyah  Yordania. Cet pertama 1428 H.
5.      CD Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta 2010.
Artikel: ibnuabbaskendari.wordpress.com dan dipublikasikan oleh http://salafiyunpad.wordpress.com
Sumber: Majalah AL FURQON no. 107, edisi 04, thn ke-10, 1431.H /2010.M

*)    Diberitakan bahwa harga kopi luwak ini secangkirnya 100 ribu rupiah. Bahkan di Amerika bisa dijual dengan harga kurang lebih 300 ribu rupiah. Mirip hat ini adalah liur bu­rung walet. Demikianlah kehendak dan keajaiban Alloh pada sebagian makhluk-Nya. Hal ini mengingatkan pe­nulis pada apa yang disebutkan oleh ulama bahwa darah kijang bisa menjadi minyak kesturi yang sangat harem!!! (Lihat Diwan al-Mutanabbi 2/21 dan asy-Syarh al-Mumthi’ 1/98 oleh Ibnu Utsaimin rahimahullah)
**)  Teks fatwa MUI tersebut sebagai berikut:
a.   Kopi Luwak sebagaimana dimaksud dalam keten­tuan umum adalah mutanajjis (barang terkena najis), bukan najis.
b.   Kopi Luwak sebagaimana dimaksud dalam keten­tuan umum adalah halal setelah disucikan.
c.   Mengonsumsi Kopi Luwak sebagaimana dimaksud angka 2 hukumnya boleh.
d.   Memproduksi dan memperjualbelikan Kopi Luwak hukumnya boleh.
[1] Lihat al-Qowa’id an-Nuroniyyah hlm. 112 Ibnu Taimiyyah dan Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21/542
[2] Syaikh Abdul Qadir bin Muhammad al-jazuri menulis se­buah kitab berjudul Umdah Shofwah fi Hilli Qohwah. Dalam kitab tersebut beliau menjelaskan secara detail tentang ha­lalnya kopi.
[3] Sebagaimana dikatakan oleh Mari’I al-Karmi dalam Thaqiq Burhan fi Sya’ni Dukhon hlm. 154
[4] Ghomzu “Uyunil Basho’ir 4/355. Lihat pula Muqoddimah Syaikhuna Mansyur bin Hasan Alu Salman hafizahullah terhadap risalah Tausi’ah
Mas’a hlm. 17-21
[5] Miftah Dar Sa’adah 2/153 Ibnul Qoyyim rahimahullah
[6] HR. Muslim : 1993
[7] Diringkas dari al-Ath’imah hlm. 62-63 oleh Syaikh Sholih bin Fauzan al-Fauzan hafizahullah.
[8] Al-Mabsuth 1/60 as-Sarokhsi, al-Qawanin al-Fiqhiyyah hlm. 27 Ibnu Juzai, al-Kafi 1/97 Ibnu Qudamah rahimahullah
[9] Majmu’ Fatawa 21/613-615
[10] Lihat al-Ushul al-Amah wal Qowa’id  al-Jami’ah lil Fatawa Syar’iyyah hlm. 18 Dr. Husain bin Abdul Azis Alu Syaikh hafizahullah
[11] Lihat al-Qowa’id an-Nuroniyyah hlm. 112 Ibnu Taimiyyah rahimahullah dan Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21/542.
[12] Al-Umm 2/213
[13] Lihat Mughni Dzawil Afham hlm. 174 oleh Ibnu Abdil Hadi, I’lamul Muwaqqi’in 4/135 oleh Ibnu Qoyyim rahimahullah
[14] Lihat masalah ini dalam kitab al-Istihalah wa Ahkamuha fil Fiqh Islami oleh Dr. Qodhafi Azzat al-Ghonanim hafizahullah.
[15] Lihat Majmu’ Fatawa 21/474, Hasyiyah Ibni Abidin 1/311, asy-Syarh al-Mumthi’ 1/424.
[16] Dan penelitian LP POM MUI membuktikan bahwa secara umum biji kopi yang keluar dari kotoran luwak tidak berubah serta dapat
tumbuh jika ditanam
[17] Al-Majmu’ Syarh Mahadzab 2/409. Lihat pula al-Mughni 13/347 karya Ibnu Qudamah rahimahullah dan al-Mantsur fil Qowa’id 2/333-334 karya
az-Zarkarsyi, Roudhoh Tholibin 1/18 karya an-Nawawi rahimahullah.
[18] Al-Mughni 1/101.Dan  ini juga dikuatkan oleh Imam Nawawi rahimahullah dalam Majmu’ Sayrh Muhadzab 1/132

 
Design by fthemes
Bloggerized by Seo Lanka and Blogger Template